#PutusinAja Ketergantungan dengan Rokok, Hanya Sebarkan Penyakit Saja

By Dewi Sulistiawaty - Agustus 02, 2020

#PutusinAja KBR.id

Saya paling sebel jika saat naik angkutan umum atau angkot, ada penumpang yang merokok. Rasa sebel jadi berkali lipat saat penumpang yang merokok tersebut malah dengan santainya menyemburkan asap rokoknya di dalam angkot. Pengen saja saya suruh si penumpang yang gak sopan tersebut nelen tuh asap -_-

Dan tahu nggak, bahkan ada lho, orang yang merokok ini malah balik memarahi orang yang berani menegurnya agar jangan merokok di tempat umum. Malah lebih galakan dia. Makanya saya pun terkadang lihat situasi dulu jika menegur seseorang yang merokok di tempat umum.

Kalau gak memungkinkan, sebisa mungkin saya menjauhi orang tersebut, atau membuka kaca jendela serta menutup hidung dan mulut (tentunya dengan memasang muka gondok). Beberapa dari mereka ada yang mengerti, dan langsung mematikan rokoknya atau menjauhkan rokoknya. Namun tak sedikit juga yang pasang wajah ‘masa bodoh’. Sebel gak tuh!

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, rokok tidak saja merusak kesehatan si perokok saja, namun juga dapat mengganggu kesehatan orang-orang yang berada di sekitarnya, yang secara tak sengaja menghirup asap rokok dari si perokok aktif ini. Bayangkan, bagaimana penyebaran dampak dari asap rokok ini

Saya tak habis pikir dengan orang yang suka merokok ini. Keuntungan apa sih yang mereka peroleh dari merokok ini. Menurut saya merokok ini sama saja dengan ‘bakar uang’ kan ya. Saya sempat menanyakan hal ini sama seorang teman yang perokok. Katanya ada perasaan nyaman saja saat merokok. Entah nyaman yang bagaimana, saya sendiri gak mengerti. Malah ada yang bilang, mulut terasa pahit kalau gak merokok. Huufft….

#PutusinAja KBR.id
#PutusinAja ketergantungan dengan rokok

Merokok ini seperti ‘kecanduan’, yang susah diberhentikan kalau sudah terbiasa menghisapnya. Beberapa teman ada yang berusaha untuk menghentikan kebiasaan merokoknya, namun katanya lumayan sulit, dan butuh waktu yang tak sebentar. Butuh berbulan-bulan baginya hingga akhirnya benar-benar terlepas dari rokok. Kebiasaan merokok diganti dengan mengunyah permen.

Sudah banyak yang meninggal akibat kebiasaan merokok ini. Namun saya heran, sepertinya hal ini tidak menyurutkan niat para perokok untuk meneruskan kebiasaan buruknya. Bahkan gambar menyeramkan dan kalimat peringatan di bungkus rokok sepertinya tak begitu berpengaruh bagi para perokok.

Tak sedikit dari perokok ini yang bahkan tahu bahaya yang dapat ditimbulkan dari asap rokok yang mereka hirup. Asap rokok yang dihirup tak hanya dapat membahayakan saluran pernapasan saja, namun juga bisa merusak semua organ yang ada di dalam tubuh.

Selain penyakit paru-paru, merokok juga dapat meningkatkan risiko terjadinya beberapa penyakit komplikasi, seperti gangguan ginjal dan penyakit kanker. Apa karena penyakitnya tak langsung dirasakan ya, jadinya para perokok ini santai-santai saja? Duh!

Mirisnya, saat memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh tanggal 23 Juli kemarin, saya mendapatkan informasi, bahwa ternyata jumlah perokok anak terus mengalami kenaikan. Miris banget pas baca informasi ini. Bahkan anak-anak pun terancam kesehatannya, yang bahkan bisa berdampak ke masa depannya gara-gara terpapar permasalahan rokok ini.

Larangan untuk tidak menjual rokok untuk anak di bawah umur sepertinya tidak cukup efektif menurut saya. Karena di saat anak ini tidak bisa mendapatkannya di toko, dia masih bisa mendapatkannya di warung-warung pinggir jalan, dan berdalih disuruh bapaknya membeli rokok. Pernah saya lihat, bahkan orangtuanya sendiri yang mengajarkan anaknya merokok, ckckck….

Menurut saya, selain edukasi mengenai bahayanya merokok, baik pada anak usia dini hingga orangtua, permasalahan akarnya sendiri, yaitu rokok, yang harus diatasi. Mungkin sudah pernah dengar ya, bagaimana demo yang dilakukan oleh aktivis antirokok setiap diperingatinya Hari Tanpa Tembakau Sedunia.

Dan tak dinyana demo pun dilakukan oleh petani tembakau, yang mengatakan bahwa puluhan juta petani tembakau dan cengkeh, termasuk para pekerja pabrik, selama ini menggantungkan hidupnya dari industri rokok. Menurut mereka tak hanya petani tembakau dan pekerja pabrik saja, bahkan pemerintah sendiri pun memperoleh pendapatan yang sangat besar dari cukai rokok ini.

Jadi, menutup atau melarang industri rokok sepertinya belum bisa dijadikan solusi yang tepat untuk saat ini, karena akibatnya akan berbuntut panjang nantinya. Menurut saya mungkin diperlukan peraturan atau kebijakan yang ketat mengenai tembakau dan rokok ini. Hmm, bagaimana kalau cukai rokok dinaikkan saja?

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Rabu, tgl 29 Juli 2020, saya menonton sebuah talkshow yang mengusung tema “Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi”. Dalam program radio Ruang Publik KBR yang digelar oleh KBR.id, sebuah Kantor Berita Radio yang menyajikan berita terkini independen terpercaya di Indonesia tersebut dihadirkan dua orang narasumber, yaitu Profesor Hasbullah Thabrany dan Ibu Renny Nurhasana.

#PutusinAja KBR.id

Profesor Hasbullah Thabrany merupakan Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, sedangkan Ibu Renny Nurhasana merupakan seorang Dosen sekaligus Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI. Untuk acara talkshownya sendiri dipandu oleh Bang Don Brady, host Ruang Publik KBR.

Di awal talkshow, Bang Don menyampaikan sebuah informasi bahwa pandemi yang saat ini sedang melanda dunia membawa dampak, baik krisis kesehatan maupun ekonomi, yang bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Dari sisi kesehatan, Reisa Broto Asmoro, selaku anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan bahwa seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) dan terjangkit virus korona, disebut memiliki potensi fatal yang tinggi.

Nah, kemenkes sendiri menyebutkan bahwa merokok merupakan salah satu faktor risiko PTM, seperti penyakit kardiovaskular, kanker, paru kronis, dan diabetes. Selain tentunya merokok juga merupakan faktor risiko penyakit menular, seperti TBC dan infeksi saluran pernapasan. Oleh sebab itulah pengendalian rokok di saat pandemi ini merupakan sebuah KEHARUSAN.

Namun di sisi lain, perusahaan rokok mengklaim bahwa selama pandemi ini malah terjadi peningkatan jumlah produksi dan naiknya jumlah permintaan rokok di masyarakat. Duh, miris banget mendengar informasi ini

Saya dapat info dari Bang Don bahwa cukai rokok ternyata sudah naik sebesar 23% per 1 Januari 2020. Harga jual eceran rokok rata-rata naik sebesar 35%. Nah, apakah kenaikan cukai rokok ini dapat mengendalikan konsumsi rokok?

Prof. Hasbullah mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok belum mampu mengendalikan konsumsi rokok. Menurut beliau, pengendalian konsumsi rokok tidak dapat dilihat dari seberapa besar persen kenaikan cukai rokok, namun harus dilihat dari tujuannya.

#PutusinAja KBR.id
Bang Don (kiri) dan Prof. Hasbullah (kanan)

“UU cukai menyebutkan bahwa, cukai itu adalah alat untuk mengendalikan konsumsi, khususnya untuk konsumsi barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Untuk mengukur apakah nilai cukainya sudah cukup atau belum adalah dengan melihat apakah konsumsinya sudah menurun atau belum. Kalau sudah menurun, barulah bisa dikatakan itu sudah ada efeknya,” jelas Prof Hasbullah.

Faktanya, di 5 tahun terakhir ini terjadi peningkatan perokok usia anak. Dan ini bisa diartikan bahwa harga rokok masih terjangkau oleh anak-anak. Hal inilah yang disebut Prof. Hasbullah bahwa kenaikan cukai saat ini belum mencapai tujuannya yaitu mengendalikan konsumsi rokok. Untuk itu Prof. Hasbullah menyarankan untuk menaikkan lagi cukai rokok agar tujuannya bisa tercapai.

Lanjut Prof. Hasbullah menyampaikan, bahwa menurut kajian yang telah mereka lakukan di tahun sebelumnya, jika rokok diletakkan di kisaran harga 70 ribu rupiah per bungkusnya, barulah diduga akan efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Asumsinya, hanya mereka yang terbiasa merokok yang mungkin akan lanjut mengkonsumsi rokok, sedangkan mereka yang belum, atau baru coba-coba, dan termasuk anak-anak, kemungkinan tidak akan mencoba untuk mengkonsumsi.

Ibu Renny kemudian menjelaskan bahwa cukai tembakau merupakan salah satu yang paling efektif dan berhasil di berbagai negara dalam menurunkan prevalensi dengan menggunakan mekanisme harga rokok atau salah satunya dengan menaikkan cukai rokok.

“Saya dapat catatan dari Kemenkes, bahwa merokok itu membuat 14 kali lebih parah mengalami gejala Covid-19. Makanya kita tahu betapa pentingnya untuk menekan konsumsi rokok selama pandemi. Seperti yang Prof. Hasbullah sampaikan bahwa cukai harus tetap naik selama pandemi ini. Itu terbukti dengan terancamnya masyarakat akibat dari rokok ini,” ungkap Ibu Renny.

Terkait dengan pendapatan negara dari cukai rokok, menurut Ibu Renny memang penting, namun ada yang lebih penting lagi, yaitu menekan prevalensi yang ada di Indonesia. Dalam memperoleh pendapatan untuk negara, dalam hal ini tupoksi dari Kemenkeu, banyak cara yang bisa dioptimalkan, salah satunya tentu saja dengan cara menaikkan tarif cukai rokok.

Menurut Ibu Renny selain menaikkan tarif cukai, ada satu hal lagi yang bisa dilakukan, yaitu dengan melakukan simplifikasi layer. Layer cukai rokok di Indonesia terbilang masih kompleks, ada sekitar 10 layer. Jadi dengan merampingkan atau simplifikasi layer, menurut Ibu Renny akan berefek pada pendapatan yang semakin meningkat. Dengan mensimpelkan layer, maka akan semakin sedikit variasi harga yang ada di masyarakat.

#PutusinAja KBR.id
Bang Don (kiri) dan Ibu Renny (kanan)

“Misalnya sekarang pemerintah menaikkan harga cukai rokok, nanti produsennya akan berpindah ke tempat yang lebih murah, bikin lagi merek baru, begitu saja terus. Dan di Indonesia itu ada 10 layer. Sehingga kita masih punya pe er. Syukurnya Kemenkeu sudah punya roadmap untuk menurunkan atau simplifikasi layer ini,” papar Ibu Renny.

Satu lagi mengapa menaikkan tarif cukai rokok selama pandemi ini menjadi penting. Karena kegiatan Work Form Home (WFH) selama pandemi, yang menyebabkan perokok aktif merokok di rumah. Bisa dibayangkan siapa yang jadi korban dari asap rokoknya, yang nanti bisa jadi perokok pasif, yaitu keluarga dan anak-anaknya.

Tuh kan, gak ada positif-positifnya merokok itu, selain keegoisan si perokok atas nama kesenangan dan kenyamanannya semata, padahal efek yang ditimbulkannya bisa berdampak pada orang lain di sekitarnya. Sedangkan pendapatan negara dari cukai rokok bisa dialihkan dengan memperolehnya dari cara yang lain. Itu menurut pendapat saya.

Namun tentu saja untuk mewujudkan semua ini juga butuh dukungan dari pemerintah dan politisi untuk berkomitmen dalam #putusinaja, dengan segera membuat kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Sementara itu para perokok juga mesti berusaha untuk #putusinaja ketergantungannya dengan rokok. Paling nggak tolong perhatiin dampaknya bagi anak-anak. Jika prevalensi perokok anak masih tinggi, maka akan makin sulit bagi kita untuk mencapai target Generasi Emas 2045.

"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini."

Website www.kbr.id

Facebook Kantor Berita Radio-KBR

Twitter @beritaKBR dan @halokbr

Instagram @kbr.id


  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. "Jadi, menutup atau melarang industri rokok..." betul uni, itu bukan cara yang tepat meski memang dibenarkan. secara, ada efek domino jika industri rokok tutup, termasuk petani tembakau, cengkeh, dan lain2. salah satu cara terbaik ya dengan menekan peredaran agar tidak meluas, khususnya pangsa remaja serta menaikkan cukai.

    BalasHapus