GERAKAN CUT THE TOSH, UBAH NARASI JADI AKSI

By Dewi Sulistiawaty - Mei 21, 2022

 Gerakan Cut The Tosh

Zaman now, apapun bisa jadi viral. Melalui media sosial, dan dengan kekuatan ‘jempol’ netizen, segala sesuatunya bisa dibuat jadi heboh dan menjadi bahan perbicangan di jagat maya. Sayangnya, kebanyakan persoalan yang diperbincangkan dan viral tersebut adalah sesuatu yang kurang penting. Misalnya persoalan rumah tangga selebriti, perkara seleb A berantem dengan seleb B, harga pakaian yang dikenakan para seleb, hingga aksi nyeleneh yang dilakukan seseorang pun bisa jadi viral.

Andaikan saja persoalan lingkungan juga bisa viral, dan kemudian memberikan dampak positif berupa aksi yang dilakukan oleh banyak orang. Andaikan saja.... Namun begitulah, kenyataannya permasalahan lingkungan sepertinya tidak termasuk dalam kategori perbincangan yang ‘seksi’ untuk diviralkan bagi kebanyakan netizen.

Padahal persoalan lingkungan yang sangat memprihatinkan saat ini merupakan hal yang sangat penting dan butuh perhatian semua orang, butuh diviralkan. Bukan saja bagi lingkungan, dampak yang ditimbulkan dari persoalan ini juga berdampak besar bagi keberlangsungan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.

Mungkin kita pernah mendengar seseorang atau perusahaan yang membahas berbagai topik mengenai kelestarian lingkungan. Namun kebanyakan itu hanya berupa narasi, perbincangan, diskusi, atau sekedar wacana, yang kemudian berakhir tanpa ada aksi nyata. Pun ada aksi nyatanya, kebanyakan tidak berkelanjutan, atau hanya berlangsung sekali dua kali saja. Sehingga dampaknya kurang begitu berpengaruh terhadap lingkungan.

Bersyukurnya, tak semua orang acuh terhadap persoalan lingkungan ini. Masih ada segelintir orang yang peduli dan melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi. Beberapa diantara mereka adalah Bapak Sisyantoko atau yang akrab disapa Cak Toko, dan Ibu Monica Tanuhandaru. Cak Toko aktif sebagai penggiat lingkungan hidup di daerah Jawa Timur, dan sekarang menjabat sebagai Direktur Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (WEHASTA). Sedangkan kepedulian Ibu Monica pada lingkungan, terutama tanaman bambu, membuatnya tergerak untuk mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Bambu Lestari.

Sekilas tentang WEHASTA dan Yayasan Bambu Lestari

WEHASTA merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, dengan visi untuk menjadikan masyarakat lebih peduli, sadar, dan berdaya upaya mandiri untuk melakukan kegiatan-kegiatan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Cak Toko mengatakan bahwa selain mengurusi permasalahan lingkungan, mereka juga giat melakukan edukasi pada anak-anak terkait lingkungan, serta berkolaborasi dengan para ibu untuk mengatasi permasalahan lingkungan.

“Saya sebelum berkolaborasi, akan selalu mengawalinya dengan aksi. Kenapa? Karena saya harus melakukan dulu aktivitas yang kira-kira kemudian orang lain akan meniru. Supaya tidak kebalik, nanti orang-orang pada bilang hanya banyak omong saja,” ungkap Cak Toko.

Apa yang dilakukan oleh Cak Toko mulai dari hal yang sederhana, seperti memilah sampah di rumah dan membuat kompos di rumah. Cak Toko menjelaskan bahwa WEHASTA memiliki program Bank Sampah yang berbasis di Surabaya. Berhasil dengan Bank Sampah di Surabaya, Cak Toko lantas ingat dengan kampung halamannya di Mojokerto yang ternyata Bank Sampahnya kurang terperhatikan. Akhirnya Cak Toko giat mengembangkan Bank Sampah yang ada di Mojokerto.    

Yayasan Bambu Lestari juga merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat non-profit yang bergerak di bidang peningkatan kualitas bambu untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Yayasan yang berbasis di Bali dan berafiliasi dengan International Bamboo Foundation (IBF) di Amerika Serikat dan Belanda ini juga melindungi hutan tropis dengan cara mempromosikan dan mengangkat beragam kegiatan konservasi, dan peluang pengembangan melalui bambu.

Menurut Ibu Monica, bambu mempunyai nilai keutamaan lingkungan, keutamaan sosial budaya, dan keutamaan ekonomi. Bagi lingkungan, bambu merupakan jenis tanaman penyimpan air yang baik. Dalam satu musim penghujan, satu rumpun bambu mampu menyimpan sekitar 3.000 hingga 5.000 liter air. Menurut beliau, bambu merupakan tanaman emas, dan beberapa diantaranya dapat tumbuh di lahan kritis, di lereng, dan menstabilkan lereng sehingga tidak mudah longsor.

Untuk nilai sosial dan budaya, pasti bangsa Indonesia tidak asing lagi dengan tanaman bambu, karena dulu para pejuang kemerdekaan bangsa kita pernah berjuang menggunakan bambu. Di beberapa daerah, bambu pun banyak dimanfaatkan untuk kelengkapan hidup sehari-hari, mulai dari bangunan, perabotan rumah, kandang ternak, pagar, hingga diolah jadi makanan.

Sedangkan untuk nilai ekonomi, bambu pun bisa dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi berbagai barang yang bernilai ekonomi, seperti kap lampu, keranjang bambu, berbagai miniatur, penyekat ruangan, dan banyak lagi lainnya. Menurut Ibu Monica dengan menanam bambu, itu sama saja dengan kita menanam air.

 

Gerakan Cut The Tosh, Ubah Narasi Jadi Aksi

Peluncuran Gerakan Cut The Tosh
Peluncuran Gerakan "Cut The Tosh", Ubah Narasi Jadi Aksi

Seperti yang sebutkan di atas, banyak individu atau perusahaan yang mewacanakan sebuah narasi terkait lingkungan, kemudian mengimplementasikannya dalam bentuk aksi. Namun aksi atau praktik tersebut tidak berkelanjutan, hingga aksi tersebut pun hilang begitu saja. Walaupun praktik tersebut patut mendapatkan apresiasi, namun sangat disayangkan jika kemudian terhenti begitu saja.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi hadirnya gerakan “Cut The Tosh”, sebuah gerakan yang mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengubah narasi atau perkataan menjadi aksi nyata. Gerakan yang menciptakan kolaborasi yang bermakna, agar dapat meningkatkan upaya, skala, serta dampak dari praktik yang berkelanjutan, dan tentu saja dengan rencana dan target yang terukur.

Gerakan Cut The Tosh yang diprakarsai oleh perusahaan Multi Bintang Indonesia (MBI) ini berperan sebagai penghubung atau hub bagi berbagai pihak yang aktif dalam melaksanakan aksi atau praktik berkelanjutan, sehingga aksi tersebut dapat dilakukan dalam skala yang lebih besar lagi, serta memberikan dampak langsung bagi banyak orang dan komunitas.

Ibu Ika Noviera selaku Direktur Corporate Affair MBI mengatakan bahwa dengan adanya gerakan Cut The Tosh ini diharapkan setiap aksi yang dilakukan dapat memberikan dampak yang besar bagi lingkungan dan kita semua. “Yuk, kita bareng-bareng menghentikan basa-basi dan mulai mengubah narasi menjadi aksi. Tentu saja aksi nyata yang sustainable dan bisa mandiri ke depannya. Perjalanan kita masih panjang. Ini baru permulaan,” ujar Ibu Ika.

Beliau pun mengungkap berbagai isu yang ada di Indonesia, seperti penebangan hutan secara sembarangan, over population yang tinggal di daerah bantaran sungai, sampah-sampah yang mengendap di sungai, hingga akhirnya ada sampah yang sampai ke laut, serta banyak lagi permasalahan lingkungan lainnya. Permasalahan yang ada di sekitar kita tersebut butuh perhatian dari kita semua, dan dampaknya akan lebih besar lagi jika ada kolaborasi dari berbagai pihak untuk menuntaskan permasalahan tersebut.

Berikut rangkaian kegiatan dari gerakan Cut The Tosh:

1. Tipple Talk

Tipple Talk merupakan sebuah diskusi atau thought-provoking forum yang membicarakan isu seputar lingkungan, sosial, dan responsible consumption.

2. Sustainability Competition (CTT) Incubators

CTT Incubators adalah inkubator ide-ide keren dan inovasi terkait keberlanjutan dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

3. CTT 3 Days Summit

Dalam CTT 3 Days Summit, MBI akan mengundang berbagai penggerak dan pendobrak yang telah berkontribusi dalam ‘meracik Indonesia yang lebih baik’ dengan cara mereka, untuk belajar bersama, serta berbagi best practises dalam merancang kolaborasi yang lebih berdampak.

Tak hanya mengajak semua pihak untuk “Cut The Tosh”, MBI yang baru-baru ini menghadirkan produk minuman zero-zero alkohol, dengan pabrik yang lokasinya terpisah dari produk terdahulunya tersebut juga mempunyai komitmen untuk mencapai “Path to Net Zero Impact”. Hal ini sebagai bentuk inisiatif MBI dalam pelestarian lingkungan. Targetnya di tahun 2025, MBI sudah 100% menggunakan energi terbarukan, dengan menerapkan pemanfaatan biomassa dan tenaga surya. Fyi, di bulan Mei 2022 ini, MBI sudah mencapai target sekitar 28% penggunaan energi terbarukan dari total konsumsi energi di fasilitas produksinya.

Untuk mendapatkan energi terbarukan tersebut, MBI menggunakan sekam padi yang diperoleh dengan cara bekerja sama dengan sekitar 700 petani. Setiap bulannya, sekitar 30 ton sekam padi diproses di dalam fasilitas biomassa, dan menghasilkan energi yang digunakan untuk produksi. MBI optimis di 2025 nanti sudah dapat mencapai 100% penggunaan energi terbarukan untuk semua produksinya.  

“Walau apa yang kita lakukan itu seperti setetes air di samudera. Namun kami percaya, jika semua orang melakukan bagiannya, maka setetes air tersebut dapat menjadi sebuah gelombang yang sangat besar.”

(Ibu Fainta Negoro)

Kalimat di atas dilontarkan oleh Ibu Fainta Negoro dalam acara peluncuran gerakan “Cut The Tosh” di Cohive D.Lab, Menteng, Jakarta Pusat, yang diselenggarakan pada hari Rabu, 18 Mei 2022. Beliau merupakan Sustainability and Partnership Lead MBI, dan lebih dari 5 tahun ini telah menghabiskan waktunya sebagai aktivis lingkungan, serta bergabung dengan berbagai NGO, seperti International Fund for Agriculture Development, ChildFund International, dan beberapa organisasi PBB lainnya. Hingga saat ini Ibu Fainta masih aktif bekerja secara sukarela untuk berbagai organisasi non-profit.

Cut The Tosh, Ubah Narasi Jadi Aksi
(Kiri-kanan) Swietenia (Moderator), Ibu Monica, Cak Toko, Ibu Ika, dan Ibu Fainta 

Dalam presentasinya, Ibu Fainta menceritakan beberapa mimpi MBI, diantaranya ingin bisa berkontribusi dengan tidak meninggalkan jejak negatif bagi bumi, menciptakan dan serius berkomitmen untuk lingkungan yang inklusif, berkeadilan, dan berkesetaraan, serta memastikan setiap konsumen dapat mengonsumsi produk MBI dengan bertanggung jawab. Walau diakui oleh Ibu Fainta bahwa mimpi ini masih belum sepenuhnya terwujud.

Ibu Fainta juga turut menyampaikan Sustainability Report 2021, yang berpayung pada 3 pilar utama, yaitu Lingkungan, Sosial, dan Konsumsi. Dengan laporan yang mengusung tema “Embracing Differences, Brewing Togetherness” tersebut MBI berharap setiap pihak dari berbagai sektor yang berbeda dapat menciptakan kolaborasi yang bermakna, dan menghasilkan manfaat bagi banyak orang, dengan mengesampingkan kepentingan dan ambisi masing-masing, serta memandang perbedaan sebagai perspektif baru yang saling memperkaya.

Untuk itu MBI bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan WEHASTA dan Yayasan Bambu Lestari. MBI mendukung program Bank Sampah dari WEHASTA, khususnya sampah-sampah yang terdapat di sungai. Sedangkan dengan Yayasan Bambu Lestari, MBI bekerja sama dalam melakukan pembibitan bambu. Hingga saat ini sudah ada lebih dari 47 ribu bibit bambu, dan 5 ribunya sudah ditanam di lahan seluas lebih dari 35 hektar.

Jika bicara tentang permasalahan lingkungan, bukan hanya bicara tentang rasa peduli semata tanpa aksi, atau aksi tak bermakna, namun menjadi tanggung jawab kita semua, semua pihak untuk beraksi bersama. Mari berkolaborasi dan viralkan permasalahan ini agar setiap insan tergerak untuk melakukan perubahan yang nyata, dengan aksi yang berkelanjutan, untuk bumi yang sehat dan lingkungan yang lebih baik lagi. Yuk, Cut The Tosh, Ubah Narasi Jadi Aksi!  



  • Share:

You Might Also Like

0 comments