Yuk, Merdekakan Pangan dan Kelaparan pada Balita

By Dewi Sulistiawaty - Oktober 21, 2020


Setiap tanggal 16 Oktober kita memperingati World Food Day atau Hari Pangan Sedunia. Tujuannya apa? Tentu saja untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian seluruh masyarakat dunia akan pentingnya pangan dan penanganan terhadap masalah pangan, misalnya masalah gizi buruk, kelaparan, obesitas, dan lain-lain.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah sudah gak ada masalah mengenai pangan? Sebagai negara agraris dengan limpahan kekayaan alamnya, mestinya Indonesia tidak ada masalah dengan pangannya. Namun kenyataannya, berdasarkan Indeks Kelaparan Global 2019, Indonesia masih mengalami masalah kelaparan yang serius. Kenyataan ini memang miris, di negeri yang subur ini masih banyak masyarakat yang kelaparan karena kemiskinan.

Berdasarkan faktor penyebabnya, kelaparan ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu kelaparan karena kemiskinan dan kelaparan yang tersembunyi. Kelaparan yang disebabkan karena kemiskinan telah mengakibatkan sekitar 45-50% anak berangkat ke sekolah dengan perut yang kosong.

Bisa dibayangkan, bagaimana anak-anak ini bisa menyerap ilmu yang diberikan oleh gurunya di sekolah, dengan kondisi perut kosong. Kondisi lapar menyebabkan anak tidak mampu berkosentrasi dengan baik saat gurunya menjelaskan pelajaran. Makanya tak heran jika kemudian anak tumbuh dengan ilmu dan pendidikan yang minim. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, bisa dipastikan seperti apa kualitas generasi muda Indonesia ke depannya.

Sedangkan kelaparan yang tersembunyi atau hidden hunger merupakan fenomena “kelaparan” nutrisi pada anak, yaitu anak yang tumbuh dengan gizi yang kurang, yang mengakibatkan anak tumbuh pendek atau stunting. Sebenarnya kebanyakan hidden hunger terjadi karena faktor kemiskinan juga. Namun tak menutup kemungkinan juga ada anak dari keluarga yang mampu, yang kekurangan vitamin dan mineral, karena kebiasaannya mengkonsumsi satu jenis makanan saja. Sehingga kebutuhan gizi untuk tubuhnya tidak seimbang dan tidak tercukupi dengan baik.

Kondisi ini diperparah lagi dengan kehadiran pandemi Covid-19, yang telah meluluh lantakkan hampir seluruh perekonomian dunia. Semua terkena dampaknya, mulai dari usaha besar hingga usaha menengah dan kecil. Ini tentu saja menambah sulit kehidupan masyarakat kecil dan juga masyarakat yang kurang mampu, untuk bisa menyediakan pangan sehat untuk keluarganya. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya, yaitu angka kelaparan, terutama pada balita yang terus meningkat.

Inilah yang membuat Foodbank of Indonesia (FOI) tergerak untuk ikut membantu masyarakat dalam mencari solusi, khususnya dalam hal penanganan masalah pangan dan gizi. Jauh sebelum pandemi pun FOI telah berkomitmen untuk membantu, dengan cara meredistribusikan makanan berlebih sebagai upaya untuk mencegah kemubaziran pangan, dan membuka akses pangan bagi kelompok rentan, salah satunya adalah para balita di Indonesia.

Organisasi nirlaba yang sudah berdiri sejak 21 Mei 2015 ini terus konsisten membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pangan secara adil, khususnya pada kaum dhuafa dan anak-anak. Misalnya melalui berbagai program pendampingan masyarakat berbasis pangan yang telah berjalan sejak lama, seperti program Sayap dari Ibu (SADARI), program Mentari Bangsaku (MBI), dan program Pos Pangan.

Baru-baru ini FOI menggelar kampanye “Aksi 1000 Bunda untuk Indonesia”, dengan mangajak masyarakat bergerak untuk memerdekakan balita dari kelaparan. Hingga saat ini sudah ada sekitar 5.800 bunda yang telah bergabung bersama FOI di “Aksi 1000 Bunda untuk Indonesia”, untuk membuka akses pangan bagi 52 ribu anak yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.

Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia, dan meningkatkan awareness atau kesadaran masyarakat mengenai kelaparan pada balita, serta bagaimana upaya pencegahannya, FOI menggelar kegiatan Rembuk Pangan Indonesia pada hari Kamis, 15 Oktober 2020 kemarin. Rembuk Pangan yang ke-4 ini mengusung tema “Cegah Kelaparan Balita di Negeri Bahari”. Acara digelar secara virtual, dengan menghadirkan para narasumber dari berbagai sektor yang terkait dengan gizi dan pangan.

FOI selenggarakan Rembuk Pangan Indonesia ke-4 secara virtual
7 narasumber yang hadir adalah Bapak Hendro Utomo selaku Founder FOI, Yura Syahrul selaku Pimpinan Redaksi Katadata, Dr. dr. Emy Huriyati, M.Kes selaku Dosen Departemen Gizi Kesehatan FK UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc selaku Guru Besar Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM, Ir. Artati Widiarti, MA selaku Direktur Jenderal PDSPKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bapak Andrew Saputro selaku Corporate Affairs Director PT. Frisian Flag, dan Bapak Benjamin Mangitung dari BeeJay Bakau Resort (BJBR), serta Ibu Wida Septarina selaku Moderator.

“Di dalam Indeks Kelaparan Global juga menunjukkan bahwa anak-anak di dalam keluarga menjadi kelompok yang rentan dalam hal pembagian makanan. Ini karena mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, dan semua harus tergantung pada orang-orang dewasa di sekelilingnya. Seringkali kepentingan mereka dikalahkan, karena mereka juga masih sulit mengartikulasikan kepentingannya,” ujar Pak Hendro mengawali kegiatan Rembuk Pangan.

Menurut Pak Hendro lagi, berdasarkan data, kebanyakan anak dengan stunting terjadi di daerah-daerah penghasil pangan, dimana semestinya anak-anak bisa memperoleh pangan sehat, tanpa pengaruh kemampuan daya beli atau ekonomi keluarganya. Beda dengan diperkotaan yang semua tergantung dari kemampuan daya beli masyarakatnya untuk memperoleh bahan pangan.

foi rembuk pangan indonesia
Rangkaian Kegiatan FOI untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia
Intervensi makanan merupakan salah satu persoalan untuk keluarga dan balita saat ini, karena semakin banyaknya jajanan-jajanan kurang sehat yang masif dikampanyekan, sehingga mengubah gaya hidup dan pola makan anak dan balita. Bahkan ada anak yang mesti “disogok” dulu dengan jajanan kesukaannya agar mau pergi ke sekolah. Hingga akhirnya orangtua pun rutin memberikan jajanan tersebut agar anaknya mau sekolah.

FOI sendiri memiliki 3 strategi yang dikemas dalam bentuk rangkaian kegiatan, untuk membantu mengurangi permasalahan pangan, diantaranya dengan intervensi makanan seperti memberikan makanan tambahan, seri edukasi, dan mendekatkan keluarga ke akses pangan seperti akses ke makanan-makanan lokal.

Selanjutnya Dr. Emy menjelaskan mengenai status balita di Indonesia saat ini, bagaimana mengoptimalisasi pertumbuhan anak pada periode emasnya, serta upaya-upaya yang dilakukan oleh seluruh komponen, baik pemerintah, badan usaha, organisasi, media, dan masyarakat umum dalam mengatasi permasalahan pangan.

foi rembuk pangan indonesia
Dr. Emy
“Pemerintah sendiri sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan kurang gizi di Indonesia, namun upaya ini masih belum begitu berhasil. Usaha-usaha pendek yang dilakukan selama ini memang bisa menurunkan angka anak kurang gizi, namun angka penderita stunting masih belum, angkanya masih konstan. Jadi memang sudah turun angka anak yang kurang gizi, tapi belum memenuhi target,” jelas Dr. Emy.

Menurut Dr. Emy, angka penderita stunting ini harus diturunkan, karena dapat menyebabkan hambatan dalam perkembangan kecerdasan dan di kemudian hari dapat menyebabkan penyakit kronis. Begitupun dengan masalah anemia pada ibu, khususnya ibu hamil, karena dapat menyebabkan pendarahan dan kematian pada ibu hamil, serta bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), yaitu bayi yang lahir dengan berat rendah atau di bawah 2,5 kg, yang nantinya bisa mengakibatkan stunting dan IQ rendah.

Periode emas pertumbuhan anak terjadi mulai dari fase awal, yaitu mulai dari bayi berusia 0 bulan di dalam kandungan, hingga anak berusia 2 tahun. Periode emas ini merupakan periode paling penting pada pertumbuhan anak, sehingga penting untuk menjaga asupan gizi anak agar tercukupi dengan baik. Sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Intervensi yang dilakukan di banyak negara untuk mengatasi permasalahan gizi ini adalah dengan memberikan makanan pendamping ASI setelah bayi berusia 6 bulan, perilaku hidup bersih dan sehat, memberikan vitamin A, zinc, dan garam beryodium, dll yang sudah diadakan sebelumnya oleh pemerintah.

Dalam paparannya, Prof. Sri Raharjo dan Ir. Artati menyampaikan hal yang sama, yaitu sebagai negeri bahari, Indonesia bisa menjadikan ikan sebagai alternatif pangan sehat bagi masyarakat, terutama alternatif pangan utama bagi balita. Ikan dengan kandungan gizinya yang tinggi, khususnya protein, dapat membantu menjaga kesehatan tubuh, khususnya kesehatan otak. Ibu hamil bahkan dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan dengan kandungan omega 3 untuk membantu tumbuh kembang janin dan menghindari bayi lahir cacat.

Menurut Prof. Sri Raharjo konsumsi ikan masih kurang di masyarakat Indonesia. Mungkin ini disebabkan oleh cita rasa dan aromanya yang kurang disukai atau alergi bagi beberapa orang yang mengkonsumsinya. Untuk cita rasa dan aroma, ikan bisa diolah dengan berbagai macam cara, sehingga makanan olahan ikan dapat menarik minat anak. Pada sesi terakhir acara ada demo masak yang menampilkan bagaimana caranya mengolah seafoods atau makanan laut menjadi makanan yang enak dan menarik.

Peran swasta seperti yang dilakukan oleh PT. Frisian Flag dan BJBR dalam mendekatkan akses pangan pada keluarga dan peningkatan gizi anak tentu sangat membantu dalam mengurangi permasalahan kelaparan dan gizi pada balita di negeri bahari ini. Begitupun peran media seperti Katadata, yang menjadi motor dalam mengajak masyarakat untuk bersama memerangi kelaparan pada balita.

Yuk, bersama kita tuntaskan masalah kelaparan di negeri kita ini. Dengan cara bergotong royong dan ikut berperan aktif, kita bisa wujudkan Indonesia Merdeka 100% dari rasa lapar. Dengan begitu, kita dapat menciptakan generasi muda yang berkualitas, yang dapat memajukan bangsa, serta membawa Indonesia menjadi negara dengan masa depan yang lebih baik lagi. Amiiin 😊

  • Share:

You Might Also Like

0 comments