PARARA Mini Festival 2025, Rangkul Gen Z untuk Agribisnis yang Berkelanjutan
![]() |
(Sumber: Pexels/Smaart) |
Tak hanya dikenal sebagai negara maritim, sejak dulu Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya yang bekerja di sektor pertanian. Sebagai negara agraris, tentunya sektor pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam mendukung kebutuhan pangan masyarakat. Sektor pertanian juga ikut menyumbang PDB serta berkontribusi tinggi terhadap perekonomian nasional.
Sayangnya, dari tahun ke tahun persentase
penduduk yang bekerja sebagai petani terus mengalami penurunan. Apa yang
menjadi penyebabnya? Ternyata sebagian besar masyarakat, terutama generasi muda
Indonesia menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani merupakan profesi yang
tidak menjanjikan, minim pendapatan, penuh risiko, dan kurang membanggakan.
Tentunya hal ini menjadi persoalan dan
juga tantangan bagi negara kita, terutama dalam hal menjaga kedaulatan pangan
nasional. Kebutuhan ketersediaan pangan yang terus meningkat tiap tahun bertolak
belakang dengan keberadaan petani muda yang terus mengalami penurunan. Penerapan
kemajuan teknologi di sektor pertanian saja sepertinya masih belum cukup tanpa
didukung oleh sumber daya manusia di dalamnya. Regenerasi petani yang mengalami
penurunan bisa menjadi ancaman yang serius bagi ketahanan pangan nasional.
“Ganti saja istilahnya. Dari sebutan petani
diganti jadi pelaku agribisnis, biar keren kan. Kalau agribisnis, gen Z mungkin
akan tertarik,” celetuk Pak Ari Moch Arif, salah satu narasumber yang hadir mengisi
acara Talkshow Literasi Pangan Lokal yang berlokasi di Perpustakaan Taman
Literasi C. Martha Tiahahu, Blok M, Jakarta Selatan.
![]() |
PARARA Mini Festival 2025 |
For your information, talkshow ini
merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan yang digelar pada perhelatan
PARARA Mini Festival 2025. Selain talkshow ini, ada bazar dan pameran produk
kreatif PARARA, games, workshop, demo masak, demo kerajinan nusantara, fashion
show, pertunjukan seni, aktivitas untuk anak, remaja, dan generasi muda, serta
banyak lagi yang lainnya. Kegiatan yang diselenggarakan di area Taman Literasi
C. Martha Tiahahu ini hanya berlangsung selama dua hari, yakni hari Jumat, 12
September dan Sabtu, 13 September 2025.


Bagi yang belum tahu, PARARA ini adalah
singkatan dari Panen Raya Nusantara. Festival PARARA pertama kali diselenggarakan
pada tahun 2015, dengan tujuan mempromosikan dan memberikan ruang bagi
produk-produk komunitas yang adil dan lestari. Festival ini kemudian menjadi
kegiatan rutin dua tahunan yang digagas dan dikemas oleh konsorsium PARARA.

Festival yang terbuka untuk umum ini dikemas
secara kreatif, dengan menampilkan produk-produk kewirausahaan dari berbagai
komunitas dan masyarakat adat. Melalui berbagai kegiatan yang digelar dalam
PARARA Festival ini, pengunjung juga bisa memperoleh informasi mendasar mengenai
arti penting dari produk-produk lokal yang dihadirkan di sana. PARARA mengedepankan
nilai perjuangan komunitas dalam menghasilkan produk, serta menjaga alam tempat
produk tersebut dihasilkan.
Talkshow Literasi Pangan Lokal
![]() |
Talkshow Literasi Pangan Lokal di PARARA Mini Festival 2025 (Kiri-kanan) Mas Zainal, Mbak Febriana, Pak Ari, Ibu Feri |
Pada Talkshow Literasi Pangan Lokal ini
secara khusus mengangkat tema tentang “Generasi Muda dan Transformasi Sistem
Pangan Berkelanjutan”. Selain Pak Ari Moch Arif selaku Climate & Energy
Lead WWF Indonesia, terdapat dua narasumber lainnya yang dihadirkan, yaitu Mbak
Febriana Tambunan selaku Media & Communication Officer Indonesia Organic
Alliance (AOI) dan Mas Akhmad Zainal Mubarak dari Agroecosystem Team (KEHATI),
dengan Moderator Mbak Feri Nur Oktaviani selaku Direktur Pengembangan Ekonomi
dan Pengelolaan Sumber Daya Lestari (AMAN).
Di awal, Mbak Febriana menyampaikan bahwa
AOI sendiri fokus pada pertanian organik yang berkelanjutan. AOI dengan anggota
dan jaringannya giat membangun lokus-lokus di beberapa titik di daerah untuk
memberikan edukasi terhadap konsumen mengenai pertanian organik pangan lokal.
Contohnya di Kabupaten Dairi, Sumatera
Utara. Di sana AOI mendukung upaya masyarakat untuk melakukan kampanye pangan
lokal organik. Semangat yang dibawa
adalah kekuatan pangan lokal yang ada di Sumatera Utara, serta mendorong agar produk
yang dihasilkan oleh para petani lokal bisa dikenal lebih luas lagi.
“Selain di Dairi, AOI juga mendukung
teman-teman yang ada di Salatiga melalui Pasar Sehat Salatiga. Mereka sangat
konsen terhadap pangan-pangan sehat dan organis. Sebisa mungkin rantai pasoknya
datang dari pertanian atau penghasil pangan organik dan berkelanjutan yang ada di
Salatiga dan sekitarnya,” ungkap Mbak Febri.
Lebih lanjut Mbak Febri menjelaskan bahwa
dalam upaya regenerasi petani organik, AOI juga memiliki program yang secara
khusus menyasar pada generasi muda, terutama petani muda organik, dengan memberikan
pelatihan atau bootcamp secara intens selama empat hari. Dalam pelatihan
tersebut, petani muda diperkenalkan dengan kekuatan pangan lokal, mengolah pangan
organik dan berkelanjutan, serta berinovasi juga terhadap bahan pangan
tersebut.
AOI terus berupaya mendorong dan
memberikan ruang pada generasi muda untuk mengenali dan menemukan kekuatan mereka
masing-masing di sektor pertanian. Apakah mereka passion-nya di bagian
pembudidayaan, pengolahan, marketing, kampanye, dan lain sebagainya. AOI pun akan
memberikan pemahaman bahwa setiap passion tersebut akan saling terhubung
dan membentuk sebuah ekosistem yang lebih besar.
Kemudian Pak Ari Moch Arif selaku Climate
& Energy Lead WWF Indonesia mengutip data dari Bappenas bahwa potensi
kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim pada empat sektor prioritas itu salah
satunya adalah sektor pertanian. Diperkirakan potensi kerugian bagi ekonomi
nasional mencapai 78 triliun rupiah. Sementara itu, di tahun 2050 nanti
diprediksi akan terjadi peningkatan populasi penduduk Indonesia. Kondisi ini
harusnya diantisipasi dengan peningkatan pangan minimal 60%.
“Gagasan dan ide anak-anak muda bisa
menjadi salah satu alternatif kekuatan bagaimana caranya membangun pertanian berbasiskan
sumber daya lokal. Namun sebuah fakta yang menjadi tantangan bagi kita semua
adalah bagaimana keinginan anak muda untuk menjadi petani. Ini nanti akan
bertransformasi apakah pengertiannya menjadi petani atau sebagai pelaku bisnis
dalam sektor pertanian, yang biasa kita sebut agribisnis,” jelas Pak Ari.
Secara garis besar petani diartikan sebagai
orang yang mengusahakan lahan pertanian, yang fokus pada produksi primer,
seperti menanam padi dan berkebun kopi. Sementara itu, pelaku agribisnis
memiliki artian yang lebih luas mencakup seluruh rantai nilai pertanian, yang
fokus pada orientasi bisnis dan pasar. Jadi tidak hanya menanam, namun juga
mengelola usaha dengan skema profit, branding, distribusi, dan diversifikasi
produk.
“Jika kita bicara pelaku agribisnis, saya
optimis banyak generasi muda yang ingin terlibat di sana,” ucap Pak Ari.
Pak Ari juga berpendapat bahwa institusi
pembayaran sangat penting untuk pengembangan rantai pasok pertanian yang cerdas
iklim, karena mereka menyediakan dukungan finansial yang diperlukan untuk
menerapkan praktik dan teknologi yang berkelanjutan.
Sementara itu Mas Akhmad Zainal mengungkapkan
bahwa sebagai bagian dari generasi muda, ia sendiri optimis masih ada anak-anak
muda yang mau ikut andil dalam sistem pertanian. Menurutnya generasi muda itu bisa
menjadi agen perubahan. KEHATI sendiri fokus pada pengembangan dan pengelolaan
keanekaragaman hayati dalam sektor pertanian, serta mendorong keterlibatan
generasi muda secara inklusi, adil, dan bermakna dalam sebuah sistem pangan.
“Ketika generasi muda dilibatkan dalam
agen perubahan, maka generasi muda juga perlu sebuah modalitas, entah itu
jaringan atau modal sosial. Untuk pendekatan pada generasi muda itu biasanya
kita berbasis hak, mendengarkan apa yang mereka rasakan, bebas berekspresi, menyampaikan
pendapatnya, dan pendapat mereka itu dipertimbangkan tanpa diskriminasi atau
dibedakan dengan orang dewasa. Mereka juga bisa memilih dan membuat peluang
mereka sendiri,” ujar Mas Zainal.
KEHATI memberikan dukungannya kepada
generasi muda dengan menerapkan konsep Bunga Partisipasi, yakni sebuah alat
yang menggambarkan bentuk-bentuk Partisipasi Orang Muda yang Bermakna (POMB),
serta bagaimana POMB bisa tumbuh dan berkembang melalui metafora bunga yang
sedang mekar.
![]() |
Bunga Partisipasi (Sumber: choiceforyouth.org) |
Untuk memajukan sistem pangan yang
berkelanjutan diperlukan generasi muda yang peduli dan mau bergerak, serta ikut
ambil bagian menjadi agen perubahan.
“Kesadaran itu mahal. Tapi
kita punya banyak source untuk menjadi sadar. Hingga sadar bahwa rantai pangan
kita tidak sedang baik-baik saja. Itu jadi satu kunci pertama untuk kita bisa
mengendapkan bahwa kita bisa ambil bagian menjadi konsumen, agribisnis, petani,
atau apapun yang kita punya interest dalam rantai pangan. Jangan lupa, bahwa ada
banyak orang yang mengerjakan isu ini. Jadi kita tidak kekurangan orang maupun
sumber untuk berkolaborasi dan mencari informasi. Yang penting, mau dulu.” (Febriana
Tambunan)
Usai talkshow, acara pun dilanjutkan dengan kegiatan Workshop Literasi Kain, dengan tema
“Diskusi Buku ‘Puan Maestro’ dan Kreasi Fashion Gen Z dengan Wastra Indonesia. Pada
kegiatan ini ada Ibu Adinindyah dari Perkumpulan Teras Mitra, serta Ibu Poppy
Barkah dan Nana Lystiani dari Perkumpulan Wastra Indonesia yang menjadi narasumber.
![]() |
Ibu Adinindyah membedah buku 'Puan Maestro' |
Ibu Adinindyah membedah sebuah buku
berjudul Puan Maestro yang diterbitkan oleh Teras Mitra. Buku tersebut menceritakan
tentang para perempuan di Biboki, NTT, dengan hasil tenun terbaik mereka, serta bagaimana para perempuan maestro tenun di sana membuat karya-karyanya. Di buku
tersebut juga diceritakan tentang upaya masyarakat Biboki untuk melestarikan budaya tenun
mereka. Salah satunya dengan cara mewariskannya kepada anak cucunya.
![]() |
Hasil karya perempuan maestro tenun di Biboki, NTT |
Workshop dilanjutkan dengan kreasi fashion menggunakan wastra nusantara, yang didemokan oleh Ibu Nana. Di sini berbagai jenis dan ragam kain wastra nusantara dipadupadankan hingga menjadi model fashion yang modern dan fresh. Jadi anak-anak muda pun tetap bisa tampil seru dan stylish menggunakan wastra nusantara. Dengan membiasakan diri menggunakan wastra dalam gaya berpakaian sehari-hari, berarti kita turut mendukung ekonomi pengrajin lokal, dan ikut melestarikan kain tradisional Indonesia.
![]() |
Workshop Literasi Kain: Kreasi Fashion Gen Z dengan Wastra Indonesia (Kiri-kanan) Ibu Poppy dan Ibu Nana |
![]() |
Ibu Nana mendemokan cara kreasi fashion modern menggunakan wastra |
0 comments