Aku, Mama, dan Perjuangan untuk Sembuh

By Dewi Sulistiawaty - Maret 27, 2016

Aku tidak tau harus mulai dari mana untuk menceritakan kisah ini. Kisah yang sudah begitu lama aku alami, kurang lebih 20 tahun yang lalu. Kisah yang membuat hidupku berubah secara fisik, bahkan mungkin mental, dulu.

Sepertinya aku harus menceritakan kisah ku ini, mulai pada saat aku menamatkan pendidikan sekolah atasku di salah satu sekolah negeri di daerah asalku yaitu Kota Padang, tempat dimana semuanya terjadi.

Setamat SMA aku mengikuti UMPTN atau Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sama seperti teman-temanku yang lain. Aku memilih jurusan sesuai keinginan Mama ku, yang ingin sekali salah satu dari anak-anaknya menjadi seorang dokter.

Sebenarnya aku tau benar bagaimana kemampuan otakku, dan ini bisa dilihat dari nilai rata-rata yang selama ini kuperoleh saat masih duduk di bangku sekolah. Walaupun aku bisa masuk ke SMA favorit di kota ku, namun nilaiku terbilang biasa-biasa saja.

Namun demi menyenangkan hati orangtua, plus berharap mungkin saja Tuhan memang memberikan izin-Nya untuk aku agar bisa lolos, aku pun mengikuti keinginan orangtuaku. Dua pilihan yang kumiliki, kudaftarkan semua untuk jurusan kedokteran di dua perguruan tinggi yang berbeda.

Bukannya aku pesimis atau kurang berdoa, namun ternyata memang aku tidak berjodoh untuk menjadi seorang dokter. Tak satupun dari dua pilihanku yang lolos. Aku sedikit kecewa, tapi bisa dibayangkan bagaimana sedihnya orangtuaku.

Mama berniat memasukan aku ke salah satu perguruan tinggi swasta dengan jurusan yang sama. Namun papa yang dari awal sebenarnya tidak begitu memaksakan anak-anaknya untuk mengambil jurusan apa, akhirnya menasehati mama. Menurut papa sebaiknya anak-anak belajar sesuai dengan minatnya masing-masing, dan jangan terlalu memaksakan keinginan mereka sebagai orangtua.

Akhirnya mama pasrah dan menuruti nasehat papa. Aku sebenarnya memang tidak begitu berminat di bidang kedokteran. Tapi karena aku anak yang patuh dan ingin menyenangkan mama, makanya aku mengikuti keinginan beliau.

Aku pun memutuskan untuk mengikuti UMPTN di tahun berikutnya. Dan waktu setahun yang kosong, ingin aku isi dengan bekerja. Sudah lama aku ingin mencoba menghasilkan uang sendiri, pasti senang rasanya bisa memiliki uang dari hasil keringat sendiri.

Orangtuaku juga mengizinkan, dengan syarat aku bekerja dengan saudara Papa, yaitu Om Anez. Om Anez merupakan sepupu jauh Papa, tapi kami sering bersilaturrahmi. Menurut Mama, mungkin anaknya ini bakal aman kalau bekerja dengan keluarga sendiri.

Akhirnya pengalaman pertama ku bekerja pun di mulai. Aku bekerja di salah Toko Tekstil milik Om Anez  sebagai kasir. Aku harus berangkat pagi karena toko di buka sekitar pukul 8, dan pulang malam sekitar pukul 8.

Sebenarnya toko sudah tutup sekitar pukul setengah 7, namun para karyawan harus membereskan kain-kain yang bertebaran, sementara aku harus merapikan dan menghitung semua uang pemasukan dan pengeluaran hari itu. Aku dan karyawan juga harus menunggu Om Anez datang, baru bisa mengunci toko. Om Anez memiliki toko cabang di mana-mana, bahkan sampai di luar kota.

Saking senangnya bisa bekerja, apalagi saat sudah menerima gaji pertama, aku terkadang sampai melupakan masalah kesehatanku. Pagi terkadang sarapan, kadang cuma minum susu saja. Makan siang sering telat, padahal teman-teman sekerja sering mengingatkanku agar jangan lupa makan siang. Malam pun sepulang kerja, aku masih saja suka sibuk beberes kamar dan hal lainnya. Teguran dari Mama agar aku langsung istirahat pun suka aku abaikan.

Memasuki bulan ketiga bekerja, berat badanku mulai berkurang. Namun aku merasa hepi-hepi saja. Cuma aku memang selalu merasa kedinginan sehabis ambil wudhu' atau dari toilet, pokoknya bila terkena air. Namun karena cuma sebentar saja dinginnya, jadi aku abaikan, padahal ini sudah merupakan pertanda bahwa daya tubuhku mulai menurun.

Memasuki bulan keempat, badanku mulai terasa cepat lelah. Bangun pagi juga terasa berat. Hingga suatu pagi, ketika Mama membangunkanku untuk berangkat kerja, kepala ku terasa pusing. Badanku rasanya juga panas.

Mama yang melihat kondisi ku langsung menyuruhku untuk istirahat, dan mengabarkan ke toko bahwa aku tidak bisa masuk karena demam. Mama mengompres kepala ku dengan handuk basah.

Malamnya mama mengantarkan ku ke dokter. Dokter mengatakan sakit ku ini disebabkan karena aku kecapean, dan harus istirahat. Aku pun diberi obat penurun panas. Malam itu aku tidur dengan keringat yang membanjiri pakaianku. Mama bilang, itu pertanda bagus, berarti panasnya mulai keluar.

Keesokan paginya ketika terbangun, suhu tubuhku sudah normal, walaupun aku merasa masih belum begitu fit. Aku pun memaksakan diri untuk masuk kerja dan mengabaikan nasehat dokter, karena merasa tidak enak kalau absen kelamaan.

Untunglah selama kerja, tubuhku tidak apa-apa. Namun ketika tengah malam, tiba-tiba tubuhku menggigil kedinginan. Mama langsung khawatir, dan menyelimuti ku dengan selimut tebal. Walaupun diselimuti dengan selimut tebal, tubuh ku tetap merasa kedinginan, rasa dinginnya sampai ke tulang.

Keesokan harinya aku izin lagi tidak masuk kerja. Aku berobat lagi ke dokter. Namun dokter tetap mengatakan bahwa aku sakit karena kecapean. Dokter meminta aku untuk menghabiskan dulu obat yang diberikannya kemarin.

Obat abis, namun kondisi tubuhku tetap tidak berubah. Terkadang menggigil kedinginan, terkadang panas. Selera makan ku pun mulai berkurang. Tiga hari aku tidak masuk, Om Anez serta teman kerja pun datang membezukku.

Mama menyampaikan pengunduran diriku bekerja di toko, sekaligus minta maaf pada Om Anez karena ternyata aku cuma sanggup bekerja selama 3 bulan saja. Om pun memaklumi, dan mendoakan agar aku cepat sembuh, dengan harapan agar aku jangan sampai mengundurkan diri.

Salah seorang teman kerja menceritakan bahwa dulu ia juga pernah mengalami sakit seperti aku. Dan ia didiagnosa terkena typhus. Gejalanya sama seperti yang kuderita, terkadang menggigil, padahal suhu tubuhku panas.

Temanku menyarankan agar aku berobat pada seorang mantri yang tinggal di Pondok Cina, tempat ia pernah berobat dulu.  Mantri ini sudah lama praktek di rumahnya, dan obat yang diberikannya juga berupa obat herbal dalam kemasan kapsul.

Yang namanya ingin cepat sembuh, akhirnya aku diantar Mama pergi berobat ke mantri tersebut. Di sana aku memang didiagnosa typhus. Aku diberikan beberapa ramuan herbal hasil racikannya sendiri. Ongkos berobatnya juga ala kadarnya saja, terserah kita. Karena Bapak Mantri yang sudah pensiun kerja ini benar-benar berniat untuk menolong orang saja, katanya.

Mama tidak begitu saja memasrahkan diri pada obat-obat yang ada. Selain itu Mama juga melakukan konsultasi kesehatan, serta rajin mencokok aku dengan cincau, yang katanya bagus dikonsumsi bagi mereka yang terkena typhus. Apa saja obat tradisional yang disarankan teman atau tetangga untuk bisa mengatasi typhus dicoba oleh Mama.

Aku saja sudah pasrah dengan kondisi tubuh ku yang tinggal kulit pembalut tulang ini. Namun wajah Mama yang terlihat sedih saat aku tidak mau makan waktu disuapi, ditambah dengan perjuangan Mama ke sana ke mari mencari obat untukku, membuatku menjadi semangat untuk bisa sembuh.

Memasuki bulan kelima nafsu makan ku mulai berangsur pulih. Mama terlihat senang, apapun makanan yang kuminta langsung dibikin sama Mama, yang penting aku makan. Seperti yang banyak dikatakan orang, jika nafsu makan sudah ada berarti kita sudah berangsur sehat. Bagaimana tidak, jika makan sudah kuat, badanpun akan kuat melawan penyakit yang ada dalam tubuh.

Soal nafsu makan ini, ternyata tidak hilang begitu saja walaupun aku sudah sembuh dari typhus. Makan ku lahap terus, ingin ini dan itu. Hingga bulan keenam berat badan ku sudah di atas normal. Mama girang melihat tubuhku menjadi gemuk, sedangkan aku hanya manyun saja karena tidak ada lagi pakaianku yang muat kupakai.

Mama tidak membolehkan aku untuk bekerja lagi. Beliau memintaku untuk mengikuti les saja, aku pun menuruti kehendak beliau. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagiku untuk ke depannya, agar lebih bisa mengontrol diri dan mengatur waktu dengan bijak, dengan tidak menyepelekan masalah kesehatan.

Pencegahan penyakit ini sebenarnya bisa saja aku hindari jika aku tidak telat makan, menjaga daya tahan tubuh dengan istirahat yang cukup, serta menjaga kebersihan baik kebersihan makanan, tubuh dan lingkungan.

Terima kasih kuucapkan yang sebesar-besarnya buat Mama yang telah merawat aku sedari aku kecil hingga aku tumbuh dewasa, bahkan hingga kini. Yang telah merawat aku sepenuh hati ketika aku sakit hingga aku sembuh. Semoga Mama selalu diberi kesehatan oleh Yang Kuasa. Dan aku berdoa semoga aku bisa menjadi seperti dirimu Mama.  


  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. dari pencegahan jadinya penyakit gak mau mampir lagi ya. yg mampir aku aja deh ke sini :)

    BalasHapus